leejnjung

“Ini, dia dapet foto ini dari mana ya?” Gwenn melihat postingan Ashley yang diberikan oleh Dara melalui grup chat. Regan mendapatkan pekerjaan karena akan segera melakukan balapan. Sementara Regan pergi bekerja, Gwenn akan pulang dengan Renata.

Renata melebarkan mata nya “Is that...

“Ashley Owen.”

Oh dear, your life must be hard.

Gwenn tertawa “Honestly, punya suami Regan Moraz ga gampang.” Gwenn menatap Renata “Regan pun begitu, tapi.. yang satu ini lumayan mengganggu.”

Yeah. I knew it. Bukan gue mau sok tau atau gimana, but her sister are insane too” Renata tertawa kaku “Oh i'm sorry, i don't want to spread a hate. Just please be careful.

Gwenn menatap Renata “Emang kenapa deh Ta?”

Renata menatap Gwenn dengan pandangan ragu “Hmm, gue cerita karena gue pengen lo hati-hati. Bukan nyebarin sesuatu yang buruk ya, gue mengalami sendiri.”

“Gue pernah ga berani ke luar rumah karena Theresia nyebarin ke seluruh- mungkin satu Indonesia tau kalau bokap gue selingkuh sama perempuan lain di saat nyokap gue sakit. Padahal gue berusaha terlihat baik-baik aja.”

“Oh, i'm sorry to hear that Renata.” Gwenn merasa tidak enak.

“Gue tau, karena dia dateng sendiri ke gue. And guess what? Dia ga suka gue temenan sama Aslan, padahal waktu itu Aslan baru aja kehilangan cewe nya dan dia bilang gue menghalangi dia buat deket sama Aslan. I mean, what the fuck girl??– ow sorry.” Renata merasa tidak baik mengumpat di hadapan Gwenn karena Gwenn seorang ibu hamil.

Yeah, what the fuck.” Gwenn berkata santai “Tapi keluarga nya cukup baik.” Yang di maksud adalah keluarga Owen.

“Baik. Tapi pasti ada alasan kenapa mereka bisa dengan mudah merusak kebahagiaan orang lain kan? Walaupun gue ga membenarkan itu.”

“Apapun alasan nya, merusak kebahagiaan orang lain itu salah.”

Renata mengangguk membenarkan, sembari memakan cheese cake kesukaan nya. “Lo, harus punya stok sabar yang banyak. Gue ga tau banyak soal Ashley, tapi Theresia nya cukup gila.”

Gwenn tersenyum lebar “Gue cukup waras dan punya banyak tenaga untuk mempertahankan pernikahan gue. Ashley dan Theresia Owen ga punya hak untuk bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, kan?”

That's my girl.” Renata penatap ponsel nya “By the way, kita pulang bareng Aslan gapapa ga? Because temen gue yang lain udah pulang duluan. Kalau ga mau, kita bisa pesen taksi atau panggil sopir-”

Gwenn merasa geli karena Renata sungguh perhatian pada dirinya “Renata? I'm fine.”

“Okay.”

But— i think i have to go to-

Are you okay?

“Sakit, sedikit. Gue kayaknya harus tanya sesuatu ke dokter gue.”

“Mau hubungin Regan?”

Gwenn berpikir, itu akan merepotkan Regan. Gwenn tahu pekerjaan Regan penting, ia tidak ingin menyulitkan Regan.

“Ga usah, gue bisa sendiri kok.”

“Gue sama Aslan anter, ya?”

“Oke.”

Gwenn dan Regan bersiap bersama. Gwenn make up sedikit lebih lama kali ini, karena Regan bilang dinner kali ini sedikit berbeda.

Setelah selesai, Gwenn memeriksa Regan apa kah suami nya itu telah selesai atau belum. Ternyata, Regan sedang mengenakan dasi.

Gwenn berinisiatif memakai kan Regan dasi “Everything is gonna be okay, right?” Gwenn tersenyum tipis, ada sedikit kekhawatiran karena bahagia yang ia rasa terlalu berlebihan hari ini.

I promise G.”

“Perasaan aku ga enak dari tadi.”

Regan menghela nafas. Bukan hanya Gwenn, namun Regan cukup gugup karena beresiko mengundang Ashley Owen di acara dinner khusus malam ini.

Regan berencana melakukan sesuatu, agar tembok yang ia buat untuk Ashley Owen atau orang-orang di luar sana yang menginginkan rumah tangga nya hancur semakin kokoh.

Penekanan. Regan sudah memiliki istri, dan Gwenn sudah lebih dari cukup untuk nya. Regan tidak ingin kehidupan nya dihancurkan oleh seseorang yang mempunyai obsesi berlebihan. Dia tidak punya waktu untuk itu.

“G. Kamu ada masalah kalau aku bilang soal kehamilan anak pertama kita?”

“Aku rasa, kalau sekarang terlalu cepet.” Gwenn menatap Regan “Kenapa kok nanya nya gitu?”

“Semua keputusan soal kamu dan anak kita harus di bicarakan kan? Aku cuma mau mastiin soal itu.”

“Okey.” Gwenn mencium Regan di pipi “Ayo berangkat.”

Regan menggenggam tangan Gwenn. Tidak ada yang tahu soal Dinner Party malam ini selain tamu undangan. Sekitar 100 orang yang hadir malam ini, dan mereka semua terdiri dari beberapa tamu terhormat. Cukup gila apabila Ashley masih melakukan hal yang tidak bermartabat.

“G, karena ada surprise kamu pakai penutup mata ya?” Regan mengulurkan sapu tangan untuk menutup mata Gwenn.

Gwenn tersenyum, mengangguk.

Saat masuk ke dalam, beberapa tamu sudah hadir dan hening sesuai instruksi tim Regan dan Yuka— yang sedang berganti profesi sebagai tim acara hari ini.

Ashley menatap Regan dengan senyum lebar. Ashley duduk di barisan paling belakang, jauh dari tamu-tamu penting Regan. Banyak dari mereka mengecam keberadaan Ashley. Bahkan Dara, sudah siap menjambak rambut Ashley jika tidak di tahan Yoriko.

Saat Gwenn membuka penutup mata, semua orang menyapa Gwenn. Ashley duduk tanpa ingin berdiri dan menyapa Gwenn.

Gwenn terharu karena teman, serta orang tua nya hadir di sini. Ada juga beberapa kolega penting di industri hiburan datang.

“Permisi. Goodnight, everyone.” Regan mengambil alih acara.

“Saya membuat acara ini, dikhususkan untuk istri saya tercinta Gwenn Bailey karena suatu alasan yang belum bisa kami ungkapkan. Juga, untuk memberi tahu jika kami berdua baik-baik saja.”

“Permasalahan kemarin, tentu diluar kendali saya juga Gwenn. Namun kami ingin menegaskan, semua hal yang berkaitan dengan saya, dan orang yang ingin merusak hubungan saya dan Gwenn itu tidak benar ada nya.”

“Saya mendapat banyak kecaman karena tidak bicara banyak dan tidak menegaskan soal hubungan saya. Saya rasa, yang perlu di tegaskan adalah orang yang mencoba merusak hubungan saya dan Gwenn.”

“Tidak perlu di sebutkan nama nya, saya dengan terhormat menginginkan semua nya berakhir dengan baik tanpa perlu ada yang saling menyakiti.”

“Semoga dapat di mengerti, dan semua nya kembali baik-baik saja. Terimakasih atas perhatian nya, maaf untuk perubahan suasana yang tidak mengenakan. Bon appétit

Gwenn tersenyum, lalu mencium Regan saat duduk di sebelah nya. Gwenn tahu jika Ashley Owen ada di ruangan ini, Regan hanya ingin semua nya berakhir dan menegaskan jika jangan pernah membuat masalah lagi.

Ashley yang duduk sendirian, menggenggam erat garpu di tangan nya. Tentu saja saat Regan berbicara di depan, semua mata melirik ke arah nya. Ashley kira, makan malam ini hanya makan malam biasa. Namun untuk Ashley, cukup menyedihkan melihat kedua orang tua nya menunduk malu.

Ashley tidak peduli. Namun Ashley merasa, Gwenn sedang berada di atas awan bukan, karena pengakuan Regan barusan?

Semua orang tahu, datang kemari merupakan hal yang gila. Jelas, sindiran pedas Regan hanya lah dongeng pengantar tidur untuk nya. Ashley tidak peduli. Bagaimana jika Ashley menghancurkan kedua nya?

Renata duduk di sebelah Aslan dengan secangkir kopi yang baru ia buat. Riding club di daerah Bandung ini merupakan tempat berkuda private yang akses nya hanya bisa di masuki oleh orang-orang yang memiliki kuda serta menitipkan kuda nya disini. Tidak ada orang lain yang belajar, hanya di masuki orang-orang yang hobi berkuda.

“Ini Renata Khair, teman gue.” Aslan memperkenalkan Renata pada Regan dan Gwenn. Sulit membaca raut wajah Regan, tapi Gwenn terlihat berbinar menatap Renata.

“Hi Renata” Gwenn mengulurkan tangan nya pada Renata, dan di sambut hangat.

Oh, pleasure to meet you Gwenn.” Jujur, kehadiran Gwenn dan Regan cukup mengintimidasi. Bukan hal buruk, Renata sendiri sering melihat aura orang-orang dengan kekayaan luar biasa, misalnya Aslan.

Tapi Gwenn dan Regan terlihat, tidak tersentuh.

“Kata Aslan, kamu penyanyi cilik ya?” Gwenn menatap Renata dengan pandangan berbinar. Renata sendiri belum pernah melihat orang lain dengan mata berbinar seperti Gwenn. Banyak yang memuji dirinya, tapi pandangan Gwenn terlihat amat tulus.

'Gue ga heran, kalau ada banyak cowo yang bertekuk lutut buat dia' ujar Renata pada diri nya sendiri.

“Iya, Gwenn. Ga terkenal, tapi ada beberapa lagu anak-anak berbahasa inggris yang gue nyanyiin dulu, dan banyak di putar di radio dan tv”

”'Oh?! Which one?'”

Sementara Gwenn dan Renata berbincang, Aslan dan Regan memperhatikan kedua nya. Regan melirik ke arah Aslan. Aslan sedang memperhatikan Renata, lalu menatap sendu Gwenn.

Baru akan berbicara, Gwenn dan Renata sudah bergandengan keluar dari longue khusus yang mereka berempat tempati.

“Mau kemana?” ujar Regan dan Aslan kompak.

Renata dan Gwenn bertatapan “Belanja, kata Renata ada dessert yang lagi viral gitu. Aku pengen coba.” Gwenn menatap ke arah Regan.

“Ayo, sama aku” Regan berdiri, di ikuti Aslan.

Girls day out” Gwenn menggeleng “Kamu bisa main sama Aslan”

Aslan dan Regan dengan cepat menggeleng “Ta” panggil Aslan.

Renata menatap Aslan “What?

Regan menghela nafas. “Kamu sama aku, Renata biar sama Aslan G”

“Okey” Gwenn melepaskan gandengan pada Renata “Lo tunjukin jalan ya”

“Iya, kayak nya kita ganti baju dulu ga sih?”

“Yeps, ayo”

Renata menatap Aslan yang memelas. Sementara Gwenn tersenyum lebar pada Regan. Renata melirik. Jelas Aslan kalah telak, Renata pun tidak bisa tidak terpesona pada Regan.

Renata merasa, Gwenn dan Regan benar-benar pasangan yang serasi. Jika Renata menjadi Aslan pun, sulit melepas pandangan dari Gwenn Bailey. Seorang Bailey. Renata heran, Gwenn yang terkenal dengan nama nya sebagai model kelas atas, bisa berada di sini tanpa pengawasan.

Skandal perselingkuhan? Shut up, they're happy.

Setelah selesai berganti pakaian, mereka masuk ke dalam mobil masing-masing.

“Lo gila?” Aslan memijat pelipisnya.

Renata berhenti tersenyum, menatap heran Aslan “Gila, what?

“Lo ngajak dia main?”

“Gwenn nanya makanan enak di bandung apa, dia mau dess—”

“Kenapa lo iya in?”

Renata tertawa sinis “Lo kenapa sih?”

I thought you understand!

Understand what?!

Hurt to see her happy, and the reason is not me Renata! Dammit!” bentak Aslan.

Bentakan Aslan cukup membuat Renata terkejut. Aslan yang melihat raut wajah Renata berubah drastis, merasa sangat bodoh.

“Maaf, ta. Gue ga bermaksud ngebentak—”

plak

Satu tamparan keras untuk Aslan.

She ask me buat diajak makan dessert karena dia lagi hamil, dia ngidam Aslan.”

Aslan menatap Renata dengan tatapan terkejut.

Renata menangis “Lo sakit hati karena belum bisa lihat dia sama suami nya yang bahagia?”

Renata mengusap air mata yang jatuh “Lo, terlihat menyedihkan”

“Lo sakit, Lan? What about me? You. Hurt me.

Renata keluar dari mobil. Gwenn yang melihat itu dari mobil nya dan Regan, bingung.

Tiba-tiba ponsel nya bergetar, menandakan pesan masuk. Dari instagram, Renata ingin mengirimi nya pesan.

renatakhair Gwenn, maaf gue ga bisa anter lo cari dessert viral itu. Kapan-kapan ya, karena gue ga enak badan. See u

Apa hal paling berat sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga?

Ga ada. Tapi menurut gue, kalau lo menjalani nya tanpa di paksa keadaan. Sayang nya, gue belum bisa jadi anak pertama yang seperti itu. Ada banyak keluhan, yang ga jarang gue pendam sendiri.

“Abang”

Itu ibu, nama lengkap nya ibu itu Daniyati. Iya, satu nama tanpa embel embel nama keluarga atau nama tambahan lain seperti anak anak nya.

“Kenapa bu?” gue langsung mengalihkan pandangan dari laptop. Hari minggu sebagai mahasiswa tingkat akhir pasti di paksa menatap laptop untuk menyelesaikan skripsi yang terasa begitu berat.

“Kamu yang beli beras di dapur?”

“Iya” gue menatap wajah paruh baya ibu, lelah dan sendu menatap gue “Kemaren abang mau makan ga ada beras, mumpung ada uang, abang beli”

“Makasih ya abang” suara lembut khas ibu, padahal itu ga seberapa.

“Iya”

Sederhana, tapi gue selalu di ajarkan mengapresiasi hal sekecil apapun dan ga dibiarkan untuk malu berterimakasih dan minta maaf.

Athaya Pradana Nataprawira. Ibu dan bapak menaruh harapan seberat dan sepanjang nama gue. Athaya berarti anugerah, Pradana berarti pertama, sementara Nataprawira berarti pemimpin yang teguh. Ibu dan bapak ingin gue menjadi anugerah pertama yang diharapkan menjadi pemimpin yang teguh.

Nama yang cukup berat gue pikul, tapi gue menganggap itu sebagai doa yang baik dari ibu dan bapak.

Gue keluar dari kamar. Langsung menuju ke ruang keluarga. Ada Nadhif— adik bungsu gue yang baru masuk SMA yang sedang menonton Detektif Conan, dan bapak yang duduk di kursi kebangsaan. Iya kursi kebangsaan, kami sekeluarga bilang itu kursi singgasana bapak. Ibarat keluarga ini kerajaan, bapak itu Raja. Ga ada yang bisa mangkir dari perintah bapak.

“Bang, ambilin bapak tempe mendoan di belakang.”

Nadhif yang masih setengah sadar menatap gue “Gue mau 3 bang”

nyandak nyalira dip, culangung menta ka si aa mah” (ambil sendiri dip, ga sopan kalo minta ke si aa)

Kalau ibu orang yang lemah lembut, berbanding terbalik dengan bapak. Bapak tegas, tapi punya celetukan yang terkadang lucu. Bapak hobi berbicara dengan burung kesayangan nya di depan rumah, dan terkadang gue ikut berceloteh di depan ujang— nama burung peliharaan bapak.

“Iya pak” Nadhif berdiri dengan langkah gontai. Gue ga masalah dengan itu sebenarnya, tapi Nadhif lupa bapak sedang ada di ruang keluarga. Meminta tolong tidak ada salahnya, namun timing nya saja tidak pas.

“Itu hoodie ga dilepas dari kemaren” gue menatap hoodie hitam yang sudah luntur yang dikenakan Nadhif. Dia punya banyak hoodie, bahkan beberapa hasil curian di lemari abang abangnya. Tapi hoodie yang diberikan adik perempuan gue, mungkin lagi jadi hoodie favorit dia sekarang.

“Dingin”

Gue dan Nadhif sampai di dapur. Ada ibu dan adik perempuan gue, Embun.

“Eh, tumben ke dapur” Ibu sibuk mengaduk ayam sambel ijo kesukaan kami sekeluarga, embun masih sibuk mencuci piring.

“Mbun” Gue menepuk pelan bahu adik perempuan gue “Abang mau cuci tangan”

Embun kelihatan agak kaget, lalu tersenyum lebar.

'Maaf bang, embun ga tau' ujar Embun dengan gerakan tangan.

Embun Nirmala itu adik gue yang ke dua, dia ga bisa berbicara juga mendengar. Spesial, paling disayangi di keluarga.

“Tempe mendoan nya mana? Bapak minta” gue menggerakan tangan agar embun mengerti ap yang gue butuhkan.

Embun dengan cekatan memisahkan tuga buah tempe mendoan buatan ibu, dengan teh manis hangat kesukaan bapak.

Gue mengusap kepala Embun “Makasih”

'sama-sama'

“Eh minggir-minggir! kenapa sih ga ada yang bangunin? gue hari ini kelas pagi!!”

Itu suara adik gue yang pertama, Baskara. Gue menatap datar kebodohan dia pagi ini “Nih aaa, buruan berangkat nanti telat”

Gue membiarkan Baskara mengunyah dan langsung pergi keluar setelah berpamitan dengan Ibu dan Bapak. Tidak lupa baskara mencium puncak kepala Embun. Embun yang panik menarik hoodie Nadhif.

'Kejar A Baskara, Nadhif. Hari ini hari minggu!'

Embun mendorong Nadhif yang sedang makan tempe mendoan. Ibu menatap kepergian Baskara dengan bingung.

“Bentar lagi juga balik” Nadhif mengipas mulut nya yang kepanasan karena tenpe mendoan yang baru diangkat. Selalu ada kelakuan Baskara yang membuat kami menggelengkan kepala tiap harinya.

'Kesian tau' Embun menggeleng.

Gue kembali ke ruang tv dengan tempe mendoan dan teh manis milik bapak. Bapak berterimakasih, gue duduk di sebelah bapak. Bapak ga bisa berjalan karena stroke, dan bapak biasanya berjalan dibantu ibu juga anak anak nya.

“Kamu ga pergi?” Bapak bertanya sembari menyicip tempe mendoan paling enak buatan ibu.

“Nanti jam 12 Atha kerja” gue bekerja di salah satu coffe shop punya teman gue sebagai barista. Gue juga terkadang membuka joki game online.

“Ga pergi sama Gita?”

Gita itu pacar gue. 3 tahun pacaran bikin bapak klop abis sama Gita. Kalau Gita ke rumah, sudah dipastikan perhatian bapak dan ibu buat Gita sepenuhnya.

Tapi sayang nya, gue lagi di fase meragukan hubungan gue sama Gita. Bukan, masalahnya bukan di Gita. Masalahnya ada di diri gue sendiri.

Gita itu anak satu satu nya dari pasangan pebisnis yang nama nya ga asing di Indonesia. Realistis nya, hubungan yang gue jalanin selama 3 tahun ini buat gue memiliki rencana yang lebih serius. Ga dalam waktu dekat, tapi gue merencanakan nya dengan sepenuh hati.

Gue tahu, mata Gita akan berbinar mungkin saat tahu rencana gue. Karena ga jarang, kami berdua berbagi pikiran soal masa depan.

“Malah bengong, bujang.”

“Nanti ke rumah Gita”

“Kenapa? Putus sama Gita?”

“Pak, omongan doa”

“Bapak nanya”

“Ga putus.”

Sebelum bapak memaksa gue untuk menceritakan apa kecemasan yang ada di kepala, Baskara masuk dengan helm yang masih terpasang di kepala.

“Parah, ga ngasih tau gue hari ini hari minggu”

Baskara duduk di sebelah gue dengan penampilan super berantakan “Bang, ikut kerja dong”

Gue berjengit “Ngapain? lo ga ada laprak?”

Kalau gue mahasiswa akhir jurusan Manajemen Agribisnis, Baskara mahasiswa semester 3 jurusan Teknik Sipil. Jelas tugas dia lebih banyak di banding tugas gue.

“Udah kelar”

“Ga usah lah, ngapain.”

“Kan mau bantu, bang Hanan juga ga akan marah”

“Belajar aja yang bener” gue menepuk kepala Baskara, toh kewajiban dia memang belajar. Walaupun gue tau, dia sesekali bekerja mengerjakan tugas teman temannya, atau pergi ke cafe cafe dan bernyanyi bersama teman satu band nya.

Gue pernah memergoki Baskara. Karena waktu itu, dia bolos kuliah dan gue sedang mengerjakan skripsi bareng Gita. Marah? sedikit. Gue cuma mau adik adik gue fokus belajar, supaya membanggakan bapak dan ibu. Walaupun bapak dan ibu bilang, melihat gue dan semua adik adik gue sehat itu udah jadi kebahagiaan tersendiri buat mereka.

Bersiap setelah makan bersama di ruang tv, gue mengenakan pakaian seperti biasanya. Orang-orang mengenali gue lewat celana yang robek di bagian lutut, juga kaos hitam dibalut dengan leather jaket milik bapak waktu muda. Gue menganut prinsip— jika ada mesin cuci, selama baju itu masih bagus dan layak pakai, gue ga malu mengenakan nya berkali-kali.

Setelah berpamitan dengan orang rumah, gue berangkat menggunakan motor vespa lama milik bapak.

Di perjalanan, gue melihat berbagai macam lapisan masyarakat. Yang berujung gue bersyukur, masih diberikan kenikmatan walaupun harus bekerja lebih keras.

Sesampainya di coffe shop milik teman gue— Januari. Bukan, nama teman gue bukan Januari. Coffe shop yang ada di hadapan gue yang diberi nama 'Januari'.

Januari penuh dengan berbagai kalangan, tapi di dominasi oleh anak anak muda. Menu terbaik Januari sendiri Kopi Menanti. Selain barista, Hanan bilang gue founder 'Januari'.

Suatu kehormatan, buat gue.

Namun langkah gue berhenti di pintu masuk. Gita sudah duduk di kursi favorit nya, dengan Kopi Menanti dan Nasi Goreng kesukaan kami berdua.

Mind to explain, Athaya?”

Entah kenapa, gue merasa itu merupakan pertanda retak nya hubungan gue dan Gita.

Kalau gue bisa memilih, gue mau hidup sebagai wanita karir yang pulang pergi naik mobil membelah kemacetan kota Jakarta, dan suami gue yang pulang kerja sebelum makan malam. Libur di waktu weekend, gue gunakan untuk pergi makan atau bermain ke rumah orang tua gue.

Sayang nya, pilihan hidup yang gue jalanin sekarang jauh dari kata 'sederhana' seperti itu. Gue bersyukur? sangat. Tapi mengeluh sudah jadi kebiasaan manusia yang lelah, kan?

Se-tertutup apapun keluarga gue, pasti selalu ada celah yang entah darimana dan lumayan mengganggu. Walaupun sebagai public figure, gue harus bisa beradaptasi dengan itu.

Keluarga gue jauh dari rumor, Regan apalagi. Tapi gue mulai merasa permainan media setelah gue menikah lebih memuakkan. Ashley Owen bukan perempuan yang begitu aja gue remehkan. Sebagai perempuan, gue menjunjung tinggi kedudukan yang sama seperti gue sebagai perempuan. Dan perlakuan Ashley kemarin cukup membuat gue hilang respect terhadap dia.

“G?”

Gue melihat wajah Regan yang membiru di beberapa tempat. Kami berdua memutuskan untuk pulang ke Jakarta sebentar, lalu pergi ke Bandung. Villa keluarga Regan jadi tempat kami untuk menjauhi seluruh media yang tentu saja mencecar Regan dengan kata-kata yang menyakitkan.

Regan bilang, apa yang dia dapatkan dari Dylan bukan apa-apa dibanding sakit nya gue melihat dia berciuman dengan perempuan lain. Tapi gue rasa, membandingkan sesuatu seperti itu ga ada gunanya. Setidaknya, gue memberikan pelajaran ke perempuan yang dengan tega nya ingin merebut suami orang lain. Bagaimana Ashley menyikapi nya, itu masalah nanti. Gue dan Regan butuh istirahat.

“Ya?” gue mencium puncak kepala Regan yang terlihat lelah. Kehamilan gue belum diketahui orang luar, gue merasa itu ga perlu.

I'm sorry

Gue mengangguk. Regan ga pernah berhenti untuk minta maaf. Kapanpun setelah kejadian itu.

“Mau jalan jalan ga? kebetulan aku pengen makan seblak” Gue masuk ke pelukan Regan.

“Tapi itu pedes”

“Kan bisa pesen yang pedes nya biasa aja”

“Ga pedes, kita berangkat sekarang juga”

“Ini baby nya yang minta loh?”

Regan dengan pasrah, mengalah. Gue menjadikan anak gue senjata untuk Regan menuruti kemauan gue, yang toh ga seberapa. Gue yakin kalau Regan mau, gerobak tukang seblak nya dia beli. Dan gue bersyukur, Regan masih sepenuhnya waras.

Beberapa hari ini, gue dan Regan menggunakan satu ponsel yang sama. Ga pernah menyalakan televisi selain nonton Netflix. Gue senang? iya. Gue akan membayar berapapun untuk melakukan hal seperti itu selama nya. Tapi sayang, mungkin gue baru bisa melakukan itu entah kapan.

Gue dan Regan keluar dari villa dengan vespa milik gue yang dikirim dari rumah gue yang di Jakarta. Awalnya, Regan berencana membawa motor miliknya. Tapi gue bilang, motor Regan justru menarik perhatian orang. Jadi gue memutuskan untuk membawa vespa matic yang sudah lama ga pernah gue pakai.

Regan membutuhkan waktu untuk terbiasa menggunakan motor yang kecil, dan gue selalu memeluk dia dari belakang karena terkadang kecepatan Regan bawa vespa matic gue itu, dia samakan kaya dia bawa motor nya saat balapan.

Gue sebisa mungkin ga menarik perhatian orang. Dan yang gue syukuri, gue dan Regan berada di pinggiran Bandung. Yang gue rasa, kebanyakan warga disini mengambil penghasilan dari Teh atau strawberry. Jadi mereka hanya menganggap gue orang Jakarta yang butuh refreshing.

“Permisi. Seblak mercon level 1 nya 2 ya, paket komplit. Dibungkus juga.”

Well, siapa yang sangka model kelas dunia kaya gue bisa berhenti di tukang seblak kan?

Gue dan Regan mengenakan masker dan baju tertutup. Orang orang ga bakal merasa aneh, karena memang udara disini cukup dingin.

“Ini neng, total jadi 24 ribu”

Gue memberikan uang dengan jumlah pas dan berterimakasih. Regan memutuskan untuk makan di villa.

“G?”

“Hmm”

“Kalau aku pensiun, dan kita punya kehidupan yang kaya gini kamu senang ga?”

“Senang. Aku bakalan kerja sekeras apapun, buat dapetin kehidupan kaya gini”

Regan diam. Gue ga tau apa yang ada dipikiran dia, tapi gue yakin dia punya banyak pikiran akhir akhir ini. Gue tau, dia punya banyak tekanan. Lagi pula, ada banyak keputusan yang beresiko kalau tiba tiba gue dan Regan berhenti tanpa persiapan.

“Tunggu ya G.”

“Tunggu apa?”

“Tunggu supaya kita berdua sama sama siap.”

Gue tersenyum “Iya. Semangat ya?”

“Kamu juga. Jangan pernah tinggalin aku, ya?”

Tentu aja, gue menjawab pertanyaan Regan dengan tegas.

Iya.

Gue menghela nafas panjang. Well, apa yang lo harapkan di saat orang tua lo udah mantap buat berpisah? Anak kecil dilarang berpendapat, dan ga terhitung dalam keputusan bersama. Dipaksa menurut, sementara keadaan mungkin ga berpihak sama lo.

Ga jarang gue mendengar suara tinggi juga kata kata kasar keluar dari mulut orang tua gue yang lelah. Dipikir pikir lagi, kayaknya cuma mereka aja yang boleh lelah? Kalau gue boleh bercerita, gue juga cape, muak, dan kadang sesak.

Demi kebaikan mereka? Gimana kalau gue bilang, mereka egois? Cape itu obat nya istirahat, kan? Bukan menyalahkan satu sama lain. Atau mungkin gue yang 'sok tau'.

“Jamie, fokus!” Kak Karin menjentikkan jari nya “Kenapa sih, kok ga fokus gitu?”

“Belum makan.” jawab gue singkat. Makan? duduk di meja makan dan harus menahan tangis? Well, gue lebih memilih ga makan. Melihat mami dengan wajah sendu aja gue ga mampu, apalagi harus duduk satu meja makan pagi ini.

“Pantesan pucet, makan dulu sana”

“Ga mau”

“Kenapa sih, lo aneh akhir akhir ini”

Gue menggeleng “Giliran gue, jam berapa?”

“Lo kan closingan, masih lama dan sempet banget kalo mau makan dulu.”

“Iya”

Ga nafsu makan.

“Jamie”

Suara yang cukup familiar, itu Bang Hiro. Teknis nya dia om gue karena adik dari mami, tapi Bang Hiro ga suka di panggil 'om' persis Om Kale. Bang Hiro ada di sini karena alumni memang di undang untuk memeriahkan acara.

“Papi janji jemput hari ini”

Bang Hiro tertawa sinis “Dan lo percaya?”

“Jujur, ngga.”

Bang Hiro mengusap kepala gue “Lo balik sama gue aja”

“Aku mau nunggu papi” Ga ada salah nya kan?

“Keras kepala”

I learn from the best

“Ya, ga heran juga sih”

Siapa sangka, setelah gue pulang dan menunggu kehadiran papi sampai pingsan dan masuk rumah sakit, kenyataan saat gue bangun lebih buruk dari apa yang gue kira.

“Papi sama mami kamu mau cerai. Gimana?”

Gimana? Dunia gue runtuh. Jelas.

“Oh iya?”

Bang Hiro menghela nafas “Reaksi lo termasuk santai buat anak yang orang tua nya mau pisah”

“Terus aku harus jadi orang gila?”

“Ga mau nangis?”

Nangis ga menyelesaikan masalah. Mami pasti lebih sakit, jadi gue harus lebih waras dari siapapun sekarang.

“Mana hp aku?”

Setelah chat mami, tiba-tiba papi masuk dengan keadaan yang— berantakan.

“Jamie?”

“Papi”

“Maafin papi”

“Jamie.. kangen papi” tangis papi pecah, “Papi, ada banyak yang pengen Jamie ceritain kaya waktu dulu, sebelum tidur”

Gue menahan tangis yang gue tahan supaya ga memberatkan langkah kedua orang tua gue. Kalau keinginan mereka seperti itu, gue akan membereskan masalah mereka dengan cara gue sendiri. Gue cuma pengen mereka tau, gue ada disini dan nunggu mereka memeluk gue lengkap tanpa ada satu ruang yang kosong.

“Papi sayang mami?”

Papi ga menjawab.

“Jamie mau papi belajar, sama Jamie.”

“Belajar apa sayang?” papi bertanya lembut.

“Belajar gimana caranya, setiap masalah ada banyak jalan keluarnya.”

“Papi sama mami ga punya jalan keluar lain, Jamie.”

Gue memejamkan mata, sakit.

“Kata siapa?” Gue tersenyum “Papi, mau belajar bareng Jamie ga?”

Papi menatap gue. Gue melihat mata papi ga lagi berbinar, justru sorot mata lelah yang gue yakini, papi jarang tidur akhir akhir ini.

“Mau.”

“Jamie udah maafin papi, sekarang papi yang harus maafin diri papi sendiri.”

Gue menangis setelah papi mencium kening gue, seperti kebiasaan nya dulu sebelum semua nya berubah.

Setelah papi pulang entah kemana, gue menyalahkan siapapun dan apapun yang 'berjasa' membuat keluarga gue berantakan. Ratusan seandainya yang cukup membuat gue berpikir, dulu ada banyak kepingan puzzle yang lupa gue susun, justru membuat gue menyesali nya sekarang.

Pesan dari Mami, lengkap mengakhiri hari gue sebagai hari terburuk, yang tanggal nya gue catat sebagai tanggal dengan hari penuh duka.

Mami Jamie, Eyang Kakung udah ga ada.

Gwenn menghampiri Regan yang menatap Gwenn dengan pandangan sendu. Semua orang sudah memegang ponsel mereka, mungkin saja ada yang bisa mereka laporkan ke sosial media. Penasaran, pembalasan dendam apa yang akan di lakukan seorang Gwenn Moraz, dengan selingkuhan yang berada di balik punggung Gwenn begitu pula dengan Regan Moraz di hadapan nya.

“G”

Gwenn menatap Regan tanpa ekspresi, menghela nafas lalu menarik tangan Regan keluar dari Starbucks— menghindari semua tatapan menusuk pada Regan.

Ashley yang menatap itu menggeram, mengepalkan tangan hingga kuku jari nya memutih.

“Ashley?”

Ashley menoleh, dikejutkan dengan semua mata yang tertuju pada nya.

“Ya?” Ashley menjawab ketus.

They live happily, why you ruin that?” ujar seorang Wanita dengan kopi hangat di tangan kanan nya “People know who's an angel here. Be careful young lady, you better stop.*”

Ashley mendengus, memilih untuk merapihkan barang bawaannya, serta merobek kertas yang sudah ia siapkan. Hari ini sungguh buruk.

“Kamu mestinya bersyukur, Gwenn Moraz ga mempermalukan kamu dan memilih cara elegan khas wanita berpendidikan buat balas dendam perempuan ga beretika seperti kamu” wanita yang sudah puas memberikan kritikan pedas untuk Ashley itu duduk dengan tenang di belakang kursi yang di duduki Ashley.

'Gwenn Bailey, lo bakalan terima akibatnya'

Sementara itu, Gwenn mengendarai mobil karena kondisi Regan yang tidak memungkinkan. Entah sekalut apa Regan mengendarai mobil disaat babak belur seperti itu.

“G, maaf.”

Gwenn bergeming. Bagaimanapun, Gwenn tahu upaya yang Regan lakukan tanpa terkecuali. Bagaimana bisa isu perselingkuhan Regan dengan Ashley tidak membawa nama buruk Gwenn juga keluarga Bailey. Tentu saja Regan pelaku nya.

“Kamu ga salah. Tapi ga tau kenapa, aku sesakit itu tau ada yang mau hubungan kita hancur. Padahal kita ga bikin masalah sama dia.”

“Bisa jadi ini satu dari banyak orang yang ga mau kita bareng bareng ya, Regan?”

“G, aku ga bakal ngelepasin kamu.”

Gwenn tertawa kecil “i know” Gwenn menatap jalanan yang macet “Aku cuma mikir, masih banyak bom waktu yang belum meledak. Kamu pikir masalah kaya gini bikin aku mau pisah? Ngga segampang itu.”

Gwenn menatap Regan “Sakit? Maafin Dylan ya?”

Regan menarik Gwenn ke pelukan nya, tidak peduli dengan rasa sakit menusuk karena terlalu banyak bergerak.

“Kamu, cantik.” ujar Regan tiba-tiba “Kaya beda aja dari biasanya, bukan berarti biasanya kamu ga cantik.”

Gwenn tersenyum “Oh ya? Apa yang beda?”

“Aura kamu,i feel like you're a mothers of two” Regan tersenyum.

Two what?

Little Regan and little Gwenn” Regan meringis karena tersenyum terlalu lebar.

Gwenn melajukan mobil nya “If you want two, i think you have to wait. Because right now i only have one baby in my belly

You, what?!” Regan dengan wajah nya yang tegang namun tidak bisa menyembunyikan mata nya yang berbinar.

Yes, i'm pregnant

Sepatu stiletto hitam yang Gwenn kenakan menggema saat masuk ke Starbucks. Seluruh mata tertuju pada Gwenn dengan tubuh tinggi serta wajah luar biasa yang tentu saja dikenali oleh semua orang. Apa yang wanita itu lakukan di Starbucks ibukota disaat ada rumor soal suami nya yang selingkuh?

“Ashley Owen?” Gwenn memanggil wanita dengan rambut brown-blonde. Mendongak, riasan serta kacamata hitam yang bertengger di hidung nya sungguh membuat Gwenn muak.

“Gwenn Bailey?” Ashley menyeringai “Duduk, kamu ga pesan?”

Semua orang berbisik, menerka apa kah betul Ashley Owen yang sedang duduk di hadapan Gwenn merupakan 'pelakor' yang sedang dibicarakan oleh orang orang?

“Itu bisa nanti. Saya mau ambil uang nya.”

Ashley tertawa meremehkan “Ini, cek yang sudah saya tanda tangani. Kamu setuju... cuma buat 1.2M?”

Gwenn tersenyum miring “Kebetulan saya butuh uang itu... buat bayar harga diri kamu”

“Apa?”

Gwenn menatap Ashley tajam “Iya. Cukup? Atau kamu perlu cash tambahan? Kebetulan saya baru bobol bank pagi ini”

“Lo gila?” Ashley tersinggung. Kemenangan yang ia rasa dekat, tiba-tiba sulit di capai.

“Mending kamu pakai 1.2M itu untuk kerugian soal kamu di cancel karena ulah kamu. Bayar orang-orang yang kamu rugikan, juga pakai uang itu untuk nyusul mami dan papi kamu di Jepang dan minta maaf. Karena sayang nya, Keluarga Bailey menarik setengah saham nya dari perusahaan milik papi kamu.”

Wajah Ashley pucat pasi, Gwenn menghela nafas “Bukan mau saya, Ashley. Tapi kamu keterlaluan.”

Regan masuk ke dalam Starbucks dengan lebam di pipi serta pelipis, mencari dimana Gwenn duduk. Gwenn menatap Regan dengan pandangan sendu, sudah pasti ulah kakak nya.

“Terakhir. Laki laki yang kamu kejar itu rela babak belur, dijatuhkan harga diri nya— dimana mungkin dia ga mau saya tau, rela dimaki-maki, kamu tau buat siapa? Saya. Dan kamu dengan lugu berpikir ada celah buat kamu merusak hubungan saya dan suami saya? Know your limit, Ashley.

'1.2? minimal kali dua belas, buat lo bayar karir gue selama sepuluh tahun'

“Hai, udah lama banget kita ga ketemu” Olivia duduk di hadapan Cleo yang sudah memasang wajah ceria.

“Apa kabar Liv?” Cleo tersenyum lebar “Gue udah pesenin Sushi set kesukaan lo”

“Baik, lo gimana? tinggal di Jepang ga inget Indo”

Cleo tersenyum “Baik juga. Anyways, gue ke sini mau minta tolong sama lo. Boleh?”

Olivia yang sedang memotret Sushi yang dipesan Cleo, menoleh. Menunggu kelanjutan apa yang akan dibicarakan Cleo

“Bantuan buat jauhin Gaze dari Jane Moraz”

Ada jeda yang hening. Olivia memikirkan, apa maksud dari Cleo? Olivia tahu betul jika keluarga Cleo memiliki otak yang cukup gila, tapi Olivia tidak memikirkan hingga sampai seperti ini. Olivia dan Cleo merupakan saudara dari kelurga ayah Olivia. Keluarga mereka cukup dekat, itu juga yang membuat Olivia dan Cleo dekat.

Olivia tersedak sushi yang terasa menyangkut di tenggorokan Olivia.

“Jane Moraz? Gaze Davies?” Olivia menatap Cleo “Mereka ada apa?”

“Gue suka Gaze.”

“Then?”

“I want Gaze.”

“Lo gila” Olivia menggeleng, lalu berdiri dari duduk nya.

“Duduk Olivia, gue belum selesai ngomong”

Olivia menggeleng “Gue suka Gaze, tapi gue masih waras”

“Dan sayang nya, gue ngga.”

“Jane— walaupun ga bisa di sebut sahabat gue tapi dia temen gue, dan dia baik. What's wrong with you Cle?”

“Gue, cuma mau Gaze”

Then do it yourself

“Gue ga bisa”

“Lo cukup gila dengan dateng dari Jepang cuma buat Gaze.” Olivia menghela nafas “Gue emang suka Gaze, but gue ga mau mengotori tangan gue cuma karena orang yang gue suka ga suka balik sama gue atau dia punya gebetan— dimana itu hak dia.” Olivia menatap nyalang Cleo.

“Sadar Cle, dunia ga melulu berputar dan berpusat di lo.” Olivia berdiri, tidak menghabiskan sisa Sushi yang di pesan Cleo “Ada nama nya resiko, dimana apa yang lo mau ga sesuai rencana. dan Cle, lo harus belajar soal itu.”

Cleo menghela nafas “Setelah ini lo bocorin cerita tadi?”

“Ngga, tapi gue akan selalu ada buat Jane atau Gaze.” Olivia melangkah tegas.

Cleo tiba tiba tertawa, pikiran nya kacau.

“Semua orang sayang sama lo Jane, ga adil ya?” guman Cleo.

“Kak Jane!” Darren berlari ke arah Jane dengan iPad di tangan kanan nya. Jane turun dari mobil nya, sanpai setelah macet yang lumayan panjang.

Jane memeluk Darren lalu mencium pipi nya yang bersemu karena kepanasan “Hai sayang, kelamaan ga nunggu nya?”

Darren menggeleng lucu “No” Darren tersenyum “Aku seneng banget nginep di rumah kak Jane, terus nanti main ps sama kak Liam”

“Iya iya, kamu udah makan belum sayang? makan dulu yuk?”

“Ga laper, tapi aku pengen burger”

Let's go get burger then” Jane menggandeng tangan mungil Darren, keluar dari ruang tunggu yang memang disediakan untuk anak anak yang menunggu jemputan mereka.

“Kakak cantik?”

Jane berbalik, melihat wajah anak kecil yang tidak asing, Jane memutar otak dan melebarkan mata ny setelah menyadari anak kecil yang memandang nya kakak cantik merupakan Gion, adik Gaze.

“Gion?” Jane memastikan.

Gion yang terlihat seperti ingin menangis tersenyum lebar “Iya aku adik nya abang Gaze”

Darren menatap Gion “Kenapa belum pulang, kak?”

Darren menatap Jane “Kak Gion ini pinter banget bahasa inggris nya, Mrs. Laura guru kak Gion juga”

Gion memainkan tali tas nya dan menunduk “Tadi Gion kebanyakan jajan because mommy lupa bawain bekal, mami dan papi ga ada di rumah, bang Gaze sakit”

Jane sedikit tersentil mendengar Gaze yang sakit, merasa bersalah “Mau pulang sama kakak dan Darren ga?”

Gion dengan cepat mengangguk “Please, i only have this” Gion menyodorkan gelang yang Jane tau memang tidak murah, dengan bingung Jane menatap Gion.

“Buat apa Gion?”

“Abang sakit, Gion ga bisa masak kak Jane. Bisa belikan abang makanan ga? Gion juga merepotkan kak Jane yang harus antar Gion pulang”

Darren menurunkan gelang yang ada di tangan Gion “Ayo rawat abang kak Gion, kak Jane, Darren masih punya uang you don't have to worry

Jane yang merasa kedua anak kecil ini lucu tertawa “Kak Jane juga punya uang, kita masakin abang Gaze bareng bareng mau?”

Entah apa yang dipikirkan Jane, tapi Jane merasa khawatir pada Gaze.