Apa hal paling berat sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga?
Ga ada. Tapi menurut gue, kalau lo menjalani nya tanpa di paksa keadaan. Sayang nya, gue belum bisa jadi anak pertama yang seperti itu. Ada banyak keluhan, yang ga jarang gue pendam sendiri.
“Abang”
Itu ibu, nama lengkap nya ibu itu Daniyati. Iya, satu nama tanpa embel embel nama keluarga atau nama tambahan lain seperti anak anak nya.
“Kenapa bu?” gue langsung mengalihkan pandangan dari laptop. Hari minggu sebagai mahasiswa tingkat akhir pasti di paksa menatap laptop untuk menyelesaikan skripsi yang terasa begitu berat.
“Kamu yang beli beras di dapur?”
“Iya” gue menatap wajah paruh baya ibu, lelah dan sendu menatap gue “Kemaren abang mau makan ga ada beras, mumpung ada uang, abang beli”
“Makasih ya abang” suara lembut khas ibu, padahal itu ga seberapa.
“Iya”
Sederhana, tapi gue selalu di ajarkan mengapresiasi hal sekecil apapun dan ga dibiarkan untuk malu berterimakasih dan minta maaf.
Athaya Pradana Nataprawira. Ibu dan bapak menaruh harapan seberat dan sepanjang nama gue. Athaya berarti anugerah, Pradana berarti pertama, sementara Nataprawira berarti pemimpin yang teguh. Ibu dan bapak ingin gue menjadi anugerah pertama yang diharapkan menjadi pemimpin yang teguh.
Nama yang cukup berat gue pikul, tapi gue menganggap itu sebagai doa yang baik dari ibu dan bapak.
Gue keluar dari kamar. Langsung menuju ke ruang keluarga. Ada Nadhif— adik bungsu gue yang baru masuk SMA yang sedang menonton Detektif Conan, dan bapak yang duduk di kursi kebangsaan. Iya kursi kebangsaan, kami sekeluarga bilang itu kursi singgasana bapak. Ibarat keluarga ini kerajaan, bapak itu Raja. Ga ada yang bisa mangkir dari perintah bapak.
“Bang, ambilin bapak tempe mendoan di belakang.”
Nadhif yang masih setengah sadar menatap gue “Gue mau 3 bang”
“nyandak nyalira dip, culangung menta ka si aa mah” (ambil sendiri dip, ga sopan kalo minta ke si aa)
Kalau ibu orang yang lemah lembut, berbanding terbalik dengan bapak. Bapak tegas, tapi punya celetukan yang terkadang lucu. Bapak hobi berbicara dengan burung kesayangan nya di depan rumah, dan terkadang gue ikut berceloteh di depan ujang— nama burung peliharaan bapak.
“Iya pak” Nadhif berdiri dengan langkah gontai. Gue ga masalah dengan itu sebenarnya, tapi Nadhif lupa bapak sedang ada di ruang keluarga. Meminta tolong tidak ada salahnya, namun timing nya saja tidak pas.
“Itu hoodie ga dilepas dari kemaren” gue menatap hoodie hitam yang sudah luntur yang dikenakan Nadhif. Dia punya banyak hoodie, bahkan beberapa hasil curian di lemari abang abangnya. Tapi hoodie yang diberikan adik perempuan gue, mungkin lagi jadi hoodie favorit dia sekarang.
“Dingin”
Gue dan Nadhif sampai di dapur. Ada ibu dan adik perempuan gue, Embun.
“Eh, tumben ke dapur” Ibu sibuk mengaduk ayam sambel ijo kesukaan kami sekeluarga, embun masih sibuk mencuci piring.
“Mbun” Gue menepuk pelan bahu adik perempuan gue “Abang mau cuci tangan”
Embun kelihatan agak kaget, lalu tersenyum lebar.
'Maaf bang, embun ga tau' ujar Embun dengan gerakan tangan.
Embun Nirmala itu adik gue yang ke dua, dia ga bisa berbicara juga mendengar. Spesial, paling disayangi di keluarga.
“Tempe mendoan nya mana? Bapak minta” gue menggerakan tangan agar embun mengerti ap yang gue butuhkan.
Embun dengan cekatan memisahkan tuga buah tempe mendoan buatan ibu, dengan teh manis hangat kesukaan bapak.
Gue mengusap kepala Embun “Makasih”
'sama-sama'
“Eh minggir-minggir! kenapa sih ga ada yang bangunin? gue hari ini kelas pagi!!”
Itu suara adik gue yang pertama, Baskara. Gue menatap datar kebodohan dia pagi ini “Nih aaa, buruan berangkat nanti telat”
Gue membiarkan Baskara mengunyah dan langsung pergi keluar setelah berpamitan dengan Ibu dan Bapak. Tidak lupa baskara mencium puncak kepala Embun. Embun yang panik menarik hoodie Nadhif.
'Kejar A Baskara, Nadhif. Hari ini hari minggu!'
Embun mendorong Nadhif yang sedang makan tempe mendoan. Ibu menatap kepergian Baskara dengan bingung.
“Bentar lagi juga balik” Nadhif mengipas mulut nya yang kepanasan karena tenpe mendoan yang baru diangkat. Selalu ada kelakuan Baskara yang membuat kami menggelengkan kepala tiap harinya.
'Kesian tau' Embun menggeleng.
Gue kembali ke ruang tv dengan tempe mendoan dan teh manis milik bapak. Bapak berterimakasih, gue duduk di sebelah bapak. Bapak ga bisa berjalan karena stroke, dan bapak biasanya berjalan dibantu ibu juga anak anak nya.
“Kamu ga pergi?” Bapak bertanya sembari menyicip tempe mendoan paling enak buatan ibu.
“Nanti jam 12 Atha kerja” gue bekerja di salah satu coffe shop punya teman gue sebagai barista. Gue juga terkadang membuka joki game online.
“Ga pergi sama Gita?”
Gita itu pacar gue. 3 tahun pacaran bikin bapak klop abis sama Gita. Kalau Gita ke rumah, sudah dipastikan perhatian bapak dan ibu buat Gita sepenuhnya.
Tapi sayang nya, gue lagi di fase meragukan hubungan gue sama Gita. Bukan, masalahnya bukan di Gita. Masalahnya ada di diri gue sendiri.
Gita itu anak satu satu nya dari pasangan pebisnis yang nama nya ga asing di Indonesia. Realistis nya, hubungan yang gue jalanin selama 3 tahun ini buat gue memiliki rencana yang lebih serius. Ga dalam waktu dekat, tapi gue merencanakan nya dengan sepenuh hati.
Gue tahu, mata Gita akan berbinar mungkin saat tahu rencana gue. Karena ga jarang, kami berdua berbagi pikiran soal masa depan.
“Malah bengong, bujang.”
“Nanti ke rumah Gita”
“Kenapa? Putus sama Gita?”
“Pak, omongan doa”
“Bapak nanya”
“Ga putus.”
Sebelum bapak memaksa gue untuk menceritakan apa kecemasan yang ada di kepala, Baskara masuk dengan helm yang masih terpasang di kepala.
“Parah, ga ngasih tau gue hari ini hari minggu”
Baskara duduk di sebelah gue dengan penampilan super berantakan “Bang, ikut kerja dong”
Gue berjengit “Ngapain? lo ga ada laprak?”
Kalau gue mahasiswa akhir jurusan Manajemen Agribisnis, Baskara mahasiswa semester 3 jurusan Teknik Sipil. Jelas tugas dia lebih banyak di banding tugas gue.
“Udah kelar”
“Ga usah lah, ngapain.”
“Kan mau bantu, bang Hanan juga ga akan marah”
“Belajar aja yang bener” gue menepuk kepala Baskara, toh kewajiban dia memang belajar. Walaupun gue tau, dia sesekali bekerja mengerjakan tugas teman temannya, atau pergi ke cafe cafe dan bernyanyi bersama teman satu band nya.
Gue pernah memergoki Baskara. Karena waktu itu, dia bolos kuliah dan gue sedang mengerjakan skripsi bareng Gita. Marah? sedikit. Gue cuma mau adik adik gue fokus belajar, supaya membanggakan bapak dan ibu. Walaupun bapak dan ibu bilang, melihat gue dan semua adik adik gue sehat itu udah jadi kebahagiaan tersendiri buat mereka.
Bersiap setelah makan bersama di ruang tv, gue mengenakan pakaian seperti biasanya. Orang-orang mengenali gue lewat celana yang robek di bagian lutut, juga kaos hitam dibalut dengan leather jaket milik bapak waktu muda. Gue menganut prinsip— jika ada mesin cuci, selama baju itu masih bagus dan layak pakai, gue ga malu mengenakan nya berkali-kali.
Setelah berpamitan dengan orang rumah, gue berangkat menggunakan motor vespa lama milik bapak.
Di perjalanan, gue melihat berbagai macam lapisan masyarakat. Yang berujung gue bersyukur, masih diberikan kenikmatan walaupun harus bekerja lebih keras.
Sesampainya di coffe shop milik teman gue— Januari. Bukan, nama teman gue bukan Januari. Coffe shop yang ada di hadapan gue yang diberi nama 'Januari'.
Januari penuh dengan berbagai kalangan, tapi di dominasi oleh anak anak muda. Menu terbaik Januari sendiri Kopi Menanti. Selain barista, Hanan bilang gue founder 'Januari'.
Suatu kehormatan, buat gue.
Namun langkah gue berhenti di pintu masuk. Gita sudah duduk di kursi favorit nya, dengan Kopi Menanti dan Nasi Goreng kesukaan kami berdua.
“Mind to explain, Athaya?”
Entah kenapa, gue merasa itu merupakan pertanda retak nya hubungan gue dan Gita.