Jamie
Gue menghela nafas panjang. Well, apa yang lo harapkan di saat orang tua lo udah mantap buat berpisah? Anak kecil dilarang berpendapat, dan ga terhitung dalam keputusan bersama. Dipaksa menurut, sementara keadaan mungkin ga berpihak sama lo.
Ga jarang gue mendengar suara tinggi juga kata kata kasar keluar dari mulut orang tua gue yang lelah. Dipikir pikir lagi, kayaknya cuma mereka aja yang boleh lelah? Kalau gue boleh bercerita, gue juga cape, muak, dan kadang sesak.
Demi kebaikan mereka? Gimana kalau gue bilang, mereka egois? Cape itu obat nya istirahat, kan? Bukan menyalahkan satu sama lain. Atau mungkin gue yang 'sok tau'.
“Jamie, fokus!” Kak Karin menjentikkan jari nya “Kenapa sih, kok ga fokus gitu?”
“Belum makan.” jawab gue singkat. Makan? duduk di meja makan dan harus menahan tangis? Well, gue lebih memilih ga makan. Melihat mami dengan wajah sendu aja gue ga mampu, apalagi harus duduk satu meja makan pagi ini.
“Pantesan pucet, makan dulu sana”
“Ga mau”
“Kenapa sih, lo aneh akhir akhir ini”
Gue menggeleng “Giliran gue, jam berapa?”
“Lo kan closingan, masih lama dan sempet banget kalo mau makan dulu.”
“Iya”
Ga nafsu makan.
“Jamie”
Suara yang cukup familiar, itu Bang Hiro. Teknis nya dia om gue karena adik dari mami, tapi Bang Hiro ga suka di panggil 'om' persis Om Kale. Bang Hiro ada di sini karena alumni memang di undang untuk memeriahkan acara.
“Papi janji jemput hari ini”
Bang Hiro tertawa sinis “Dan lo percaya?”
“Jujur, ngga.”
Bang Hiro mengusap kepala gue “Lo balik sama gue aja”
“Aku mau nunggu papi” Ga ada salah nya kan?
“Keras kepala”
“I learn from the best“
“Ya, ga heran juga sih”
Siapa sangka, setelah gue pulang dan menunggu kehadiran papi sampai pingsan dan masuk rumah sakit, kenyataan saat gue bangun lebih buruk dari apa yang gue kira.
“Papi sama mami kamu mau cerai. Gimana?”
Gimana? Dunia gue runtuh. Jelas.
“Oh iya?”
Bang Hiro menghela nafas “Reaksi lo termasuk santai buat anak yang orang tua nya mau pisah”
“Terus aku harus jadi orang gila?”
“Ga mau nangis?”
Nangis ga menyelesaikan masalah. Mami pasti lebih sakit, jadi gue harus lebih waras dari siapapun sekarang.
“Mana hp aku?”
Setelah chat mami, tiba-tiba papi masuk dengan keadaan yang— berantakan.
“Jamie?”
“Papi”
“Maafin papi”
“Jamie.. kangen papi” tangis papi pecah, “Papi, ada banyak yang pengen Jamie ceritain kaya waktu dulu, sebelum tidur”
Gue menahan tangis yang gue tahan supaya ga memberatkan langkah kedua orang tua gue. Kalau keinginan mereka seperti itu, gue akan membereskan masalah mereka dengan cara gue sendiri. Gue cuma pengen mereka tau, gue ada disini dan nunggu mereka memeluk gue lengkap tanpa ada satu ruang yang kosong.
“Papi sayang mami?”
Papi ga menjawab.
“Jamie mau papi belajar, sama Jamie.”
“Belajar apa sayang?” papi bertanya lembut.
“Belajar gimana caranya, setiap masalah ada banyak jalan keluarnya.”
“Papi sama mami ga punya jalan keluar lain, Jamie.”
Gue memejamkan mata, sakit.
“Kata siapa?” Gue tersenyum “Papi, mau belajar bareng Jamie ga?”
Papi menatap gue. Gue melihat mata papi ga lagi berbinar, justru sorot mata lelah yang gue yakini, papi jarang tidur akhir akhir ini.
“Mau.”
“Jamie udah maafin papi, sekarang papi yang harus maafin diri papi sendiri.”
Gue menangis setelah papi mencium kening gue, seperti kebiasaan nya dulu sebelum semua nya berubah.
Setelah papi pulang entah kemana, gue menyalahkan siapapun dan apapun yang 'berjasa' membuat keluarga gue berantakan. Ratusan seandainya yang cukup membuat gue berpikir, dulu ada banyak kepingan puzzle yang lupa gue susun, justru membuat gue menyesali nya sekarang.
Pesan dari Mami, lengkap mengakhiri hari gue sebagai hari terburuk, yang tanggal nya gue catat sebagai tanggal dengan hari penuh duka.
Mami Jamie, Eyang Kakung udah ga ada.