Bandung

Kalau gue bisa memilih, gue mau hidup sebagai wanita karir yang pulang pergi naik mobil membelah kemacetan kota Jakarta, dan suami gue yang pulang kerja sebelum makan malam. Libur di waktu weekend, gue gunakan untuk pergi makan atau bermain ke rumah orang tua gue.

Sayang nya, pilihan hidup yang gue jalanin sekarang jauh dari kata 'sederhana' seperti itu. Gue bersyukur? sangat. Tapi mengeluh sudah jadi kebiasaan manusia yang lelah, kan?

Se-tertutup apapun keluarga gue, pasti selalu ada celah yang entah darimana dan lumayan mengganggu. Walaupun sebagai public figure, gue harus bisa beradaptasi dengan itu.

Keluarga gue jauh dari rumor, Regan apalagi. Tapi gue mulai merasa permainan media setelah gue menikah lebih memuakkan. Ashley Owen bukan perempuan yang begitu aja gue remehkan. Sebagai perempuan, gue menjunjung tinggi kedudukan yang sama seperti gue sebagai perempuan. Dan perlakuan Ashley kemarin cukup membuat gue hilang respect terhadap dia.

“G?”

Gue melihat wajah Regan yang membiru di beberapa tempat. Kami berdua memutuskan untuk pulang ke Jakarta sebentar, lalu pergi ke Bandung. Villa keluarga Regan jadi tempat kami untuk menjauhi seluruh media yang tentu saja mencecar Regan dengan kata-kata yang menyakitkan.

Regan bilang, apa yang dia dapatkan dari Dylan bukan apa-apa dibanding sakit nya gue melihat dia berciuman dengan perempuan lain. Tapi gue rasa, membandingkan sesuatu seperti itu ga ada gunanya. Setidaknya, gue memberikan pelajaran ke perempuan yang dengan tega nya ingin merebut suami orang lain. Bagaimana Ashley menyikapi nya, itu masalah nanti. Gue dan Regan butuh istirahat.

“Ya?” gue mencium puncak kepala Regan yang terlihat lelah. Kehamilan gue belum diketahui orang luar, gue merasa itu ga perlu.

I'm sorry

Gue mengangguk. Regan ga pernah berhenti untuk minta maaf. Kapanpun setelah kejadian itu.

“Mau jalan jalan ga? kebetulan aku pengen makan seblak” Gue masuk ke pelukan Regan.

“Tapi itu pedes”

“Kan bisa pesen yang pedes nya biasa aja”

“Ga pedes, kita berangkat sekarang juga”

“Ini baby nya yang minta loh?”

Regan dengan pasrah, mengalah. Gue menjadikan anak gue senjata untuk Regan menuruti kemauan gue, yang toh ga seberapa. Gue yakin kalau Regan mau, gerobak tukang seblak nya dia beli. Dan gue bersyukur, Regan masih sepenuhnya waras.

Beberapa hari ini, gue dan Regan menggunakan satu ponsel yang sama. Ga pernah menyalakan televisi selain nonton Netflix. Gue senang? iya. Gue akan membayar berapapun untuk melakukan hal seperti itu selama nya. Tapi sayang, mungkin gue baru bisa melakukan itu entah kapan.

Gue dan Regan keluar dari villa dengan vespa milik gue yang dikirim dari rumah gue yang di Jakarta. Awalnya, Regan berencana membawa motor miliknya. Tapi gue bilang, motor Regan justru menarik perhatian orang. Jadi gue memutuskan untuk membawa vespa matic yang sudah lama ga pernah gue pakai.

Regan membutuhkan waktu untuk terbiasa menggunakan motor yang kecil, dan gue selalu memeluk dia dari belakang karena terkadang kecepatan Regan bawa vespa matic gue itu, dia samakan kaya dia bawa motor nya saat balapan.

Gue sebisa mungkin ga menarik perhatian orang. Dan yang gue syukuri, gue dan Regan berada di pinggiran Bandung. Yang gue rasa, kebanyakan warga disini mengambil penghasilan dari Teh atau strawberry. Jadi mereka hanya menganggap gue orang Jakarta yang butuh refreshing.

“Permisi. Seblak mercon level 1 nya 2 ya, paket komplit. Dibungkus juga.”

Well, siapa yang sangka model kelas dunia kaya gue bisa berhenti di tukang seblak kan?

Gue dan Regan mengenakan masker dan baju tertutup. Orang orang ga bakal merasa aneh, karena memang udara disini cukup dingin.

“Ini neng, total jadi 24 ribu”

Gue memberikan uang dengan jumlah pas dan berterimakasih. Regan memutuskan untuk makan di villa.

“G?”

“Hmm”

“Kalau aku pensiun, dan kita punya kehidupan yang kaya gini kamu senang ga?”

“Senang. Aku bakalan kerja sekeras apapun, buat dapetin kehidupan kaya gini”

Regan diam. Gue ga tau apa yang ada dipikiran dia, tapi gue yakin dia punya banyak pikiran akhir akhir ini. Gue tau, dia punya banyak tekanan. Lagi pula, ada banyak keputusan yang beresiko kalau tiba tiba gue dan Regan berhenti tanpa persiapan.

“Tunggu ya G.”

“Tunggu apa?”

“Tunggu supaya kita berdua sama sama siap.”

Gue tersenyum “Iya. Semangat ya?”

“Kamu juga. Jangan pernah tinggalin aku, ya?”

Tentu aja, gue menjawab pertanyaan Regan dengan tegas.

Iya.