Happiness
“Kamu dimana Lexa” tanya lelaki di ujung telfon, itu Julian atau aku biasa panggil dia Ian. Laki laki paling keras kepala yang pernah aku kenal.
“Di cafe, kenapa?” Aku memakan kue red velvet yang aku pesan sekitar satu jam yang lalu, kebiasaan.
Sebelumnya halo, aku Alexa Huston. Aktris 25 tahun berdarah Indonesia-Amerika. Tidak ada hal lain yang menarik, atau mungkin belum. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi beberapa jam kedepan bukan?
“Kalau mau pulang bilang ya, nanti aku jemput” aku tau ian sedang sibuk memotret perempuan perempuan cantik yang mungkin sedang ada di hadapannya. Bukan, aku bukan cemburu tapi fakta nya memang pekerjaan Ian sebagai photographer memotret perempuan cantik yang akan ada di majalah atau bahkan iklan.
“Aku tau kamu sibuk, gaperlu kok. Aku bisa sendi— eh?”
Aku menurunkan ponselku dan menaruhnya di meja, ada anak laki laki yang berlari dan terjatuh tepat di hadapanku. Di area belakang cafe memang tersedia playground untuk anak anak, tapi dimana orang tua nya? Karena tidak ada pengunjung lain di area yang aku tempati sekarang.
Anak laki laki ini tidak menangis, tapi aku tahu siku tangan nya lumayan sakit karena terbentur kaki meja “Gapapa” ujarku sambil meniup siku nya “fiuhhh fiuhh sembuh. Sakit nya cuma sebentar aja, gapapa ya ganteng?” Aku tersenyum menenangkan.
Si anak laki laki ini mengangguk, lalu mulai menengok kesana kemari. Aku menebak dia mencari orang tua nya “Kamu cari mama papa ya? Tadi terakhir kali kamu main dimana? Biar kakak anter”
Anak laki laki ini hanya diam, lalu mengeluarkan buku catatan dan pulpen dari saku celana nya. Menulis sesuatu, lalu aku membaca apa yang dia tuliskan. Hati hati, dia mencoba menulis serapih mungkin.
‘Sorry, i can’t speak. Aku tadi ke kamar mandi, tapi aku lupa jalan ke arah playground karena terlalu banyak pintu’
Dia tidak bisa bicara.
“Joshua? Son?”
Suara itu, terdengar sangat familiar.
Joshua, berlari menuju sang ayah. Berbicara menggunakan bahasa isyarat sepertinya. Aku tidak tahu, aku masih membelakangi mereka. Mengambil ponsel yang masih terhubung panggilan dengan Ian “Aku telfon lagi nanti ya”
“Lexa, kamu nangis? Kenapa suara kamu kaya orang nangis?” tanya Ian, mendengar suaraku yang bergetar.
“Permisi, mba? Terimakasih sudah bantu anak—“
Aku berbalik, masih dengan ponsel yang tersambung dengan Ian. Ian sepertinya mengetahui suara siapa yang ada dihadapanku sekarang. Aku diam, Jonathan pun diam.
Iya, itu Jonathan.
“Alexa?” Panggil Jonathan.
Aku memejamkan mata, perih menjalar. Sudah lama sekali, mendengar suara itu memanggil namaku seperti ini.
“ALEXA Itu Jonathan? Si brengsek? Sebentar aku otw!” Julian mematikan telfon nya tanpa membiarkan aku berbicara sepatah kata.
Aku mengambil nafas panjang “long time no see Jo, apa kabar?” Aku mencoba tersenyum.
Anggap reaksi ku berlebihan. Dia cuma masa lalu. Benar, tapi masa lalu yang cukup menyakitkan untukku.
“Joshua sayang astaga maafin mami ya… Lexa?”
Itu Jesslyn. Terlihat sangat cantik dan dewasa, sangat serasi dengan Jonathan. Aku? Mencoba untuk bernafas senormal mungkin.
Jo memberikan Joshua pada Jesslyn “Aku mau bicara sama Alexa sebentar sayang, gapapa ya?”
Jesslyn tersenyum, melihat kearahku “Senang ketemu kamu Lexa, aku ke belakang ya. Josh, say thank you to beautiful aunty”
Joshua tersenyum, lalu memberikan gestur tangan yang aku tidak mengerti makna nya.
“Katanya, terimakasih tante baik. Glad my father have a kind and beautiful friends like you. He said semoga kita bisa ketemu lagi kapan kapan” Jesslyn menerjemahkan.
Aku mengangguk, lalu tersenyum “Nanti kapan kapan kita main ya” Jesslyn dan Josh pergi ke belakang. Aku? Berdiri tegang berhadapan dengan Jonathan.
Aku tersenyum kaku, lalu melihat kearah Jonathan yang juga melihat kearahku. Tatapannya, masih sama seperti beberapa tahun lalu. Tatapan yang, tidak bisa aku artikan.
“May i…”
“Oh iya, duduk Jo” Aku duduk duluan dan meminum americano yang sebentar lagi habis. Mencoba mengabaikan rasa sakit. Bukan, bukan karena masih menyayangi Jonathan. Tapi masih berbekas bagaimana sakitnya dulu ditinggalkan tanpa kejelasan yang cukup.
“Gimana kabarnya Lexa? Terakhir aku nonton film kamu di bioskop tahun lalu, sibuk kuliah lagi?”
Cukup berlagak kamu tahu semua tentang aku Jo.
“Atau lagi fokus usaha papi? Papi apa kabar?”
Papi baik, masih menanyakan kabar kamu setiap minggu.
“Ah iya, aku kangen Hugo. Gimana kabarnya?”
Masih sama, benci kamu.
Jonathan tersenyum, jawaban itu tidak aku utarakan secara lantang.
“Aku tahu jawabannya Al, kamu gaperlu jawab”
Aku mengangguk, lalu menunjuk Joshua yang sedang bermain bersama Jesslyn “Joshua, dia anak yang kuat”
Jonathan ikut memandang ke arah Joshua dam Jesslyn “Iya, dia kuat padahal masih kecil”
Jonathan tersenyum, aku membaca raut wajahnya. Terlihat sangat bahagia dengan keluarga kecilnya.
“Aku mau minta maaf Lexa. Maaf”
Aku mengangguk “Aku udah maafin kamu Jo” aku sungguhan, hanya rasa sakit ditinggalkan Jo kadang masih sering datang.
Jonathan mengangguk “Tapi aku belum maafin diri aku sendiri” ujarnya tersenyum “Ninggalin kamu, salah satu kesalahan terbesar di hidup aku”
Aku tersenyum pahit “Jo”
“I said i love you, i really do. 6 tahun kita sama sama itu bukan waktu yang sebentar Lexa, kamu pikir perasaanku becandaan?”
Aku diam. Fakta itu tidak ada guna nya sekarang.
“Tapi maaf, aku gabisa mempertahankan kamu di depan orang tua aku. Aku juga gabisa membiarkan fakta Jesslyn hamil dan laki laki yang hamilin dia gamau tanggung jawab. Maafin aku Lexa”
Tidak ada kata yang sanggup mendeskripsikan perih nya tahu fakta yang baru saja Jonathan ungkapkan. Aku bahkan tidak bisa merasakan kepalan tangan yang aku biasa lakukan jika ketakutan berlebih.
“Alexa breath please, lexa i’m sorry”
Aku melihat kearah Jo “Jo, tell me, you love her right?”
Jonathan mengangguk, aku bernafas lega “Jo. Kalau aku bilang, sakit nya ditinggal kamu masih ada sampai sekarang apa kamu percaya?”
“Tapi aku ga pernah mempermasalahkan itu, aku ada di proses mendewasakan diri ku sendiri dengan merelakan kamu. Aku udah maafin kamu, kamu gaperlu merasa dihantui rasa bersalah karena aku.”
“Did you live happily?”
“I do Jo, i do. You don’t need to worry, aku udah 26 tahun” Aku tersenyum, aku merasa hidupku masih baik baik saja tanpa ada Jo. Memang seharusnya begitu, bukan?
Jonathan tersenyum, mengulurkan tangannya “Thank you, for everything. Makasih pelajaran hidupnya hahaha”
Aku menjabat tangan Jo, kali ini tanpa takut ada yang hancur “Thank you Jo”
Lega rasanya. Aku bisa membaca mata Jo, kali ini berbinar tanpa redup. Mungkin beban nya menjelaskan ini padaku sudah hilang. Selesai. Aku dan Jo berteman sekarang. Tidak ada lagi aku yang panik mendengar nama Jonathan, tidak ada lagi aku yang berusaha menghindari semua hal tentang Jonathan demi perasaanku agar baik baik saja. Semuanya selesai, akhir yang baik untuk aku memulai sesuatu yang baru. Akhir yang baik untuk Jonathan bisa melangkah tanpa dihantui rasa bersalah. Aku tersenyum, Jo juga sama. Aku melihat kearah Jesslyn, dia tersenyum dengan tulus. Dari awal Jesslyn adalah pemeran yang tidak bisa melakukan apapun, dia serba salah dan aku tidak bisa menyalahkan Jesslyn. Dulu mungkin iya, tapi melihat Jesslyn selalu tersenyum sendu membuat aku berpikir dia membutuhkan Jo.
Sama sepertiku, dulu.
Jo melihat kearah luar cafe, aku mengikuti pandangannya. Ian baru saja turun dari mobil dengan muka lelah dan.. sedikit marah?
Jonathan tertawa lebih keras kali ini “i think your happiness udah jemput Al, tapi aku boleh minta tolong? Jangan ada adegan tonjok tonjokan. Anak aku tau nya aku ayah yang keren dan anti kekerasan”
Aku bingung, maksud Jo apa?
“Loh? Kamu bodoh banget Al, itu Ian suka sama kamu loh. Masa kamu ga tau?”
Ian itu salah satu teman dekat Jo saat SMA, makannya mereka saling kenal. Tapi sepertinya ini pertemuan perdana mereka selama bertahun tahun. Yang terjadi selanjutnya adalah, aku menahan amarah Ian yang sepertinya sedang berada di puncak karena bertemu dengan Jo. Juga mungkin karena lelah banyak nya pemotretan lalu harus menjemput aku.
“Bukan cape, Bang Ian cemburu. Marah juga gara gara lo ketemu sama Bang Jonathan tapi gaada dia”
Itu kata Hugo, adikku setelah aku ceritakan kejadian hari ini. Aku? Sudah jelas menolak percaya.